Masyarakat Pojok Makassar

Di kota hidup beragam manusia dengan berbagai latar belakang yang berbeda. Status ekonomi yang berbeda. Ada yang memiliki modal dan usaha serta menguasai roda perekonomian. Hidup diperumahan mewah dengan fasilitas umum yang lengkap. Ada kalangan menengah yang umumnya bekerja di sektor formal. Dan ada kalangan bawah yang umumnya bekerja lepas (nonformal). Sekian persen dari masyarakat bawah inilah yang hidup di pojok kota, khususnya Makassar.
Dengan alasan itu pula, Unit Kegiatan Mahasiswa Fotografi (UKMF)  Unhas mengangkat tema “Pojok Makassar” pada pameran pojok Diksar XXI kali ini. Pameran yang mengumpulkan potret masyarakat yang sebagian besar berada di “Pojok Makassar” yang direkam melalui lensa anggota poket UKMF. (Tulisan ini kubuat tuk narasi yang menceritakan alur pada pemeran foto UKMFotografi Unhas, 10-15 Maret 2013).
Laiknya kota besar lainnya, Makassar pun membutuhkan peran dan kehadiran masyarakat miskin. Setidaknya itu memberi isyarat bagi masyarakat miskit tuk tetap mendapat tempat di Makassar yang dicanankan menjadi “Kota Dunia.” Seiring pertumbuhan dan kemajuan Makassar, di situ akan selaluh ada masyarakat miskin. Mereka tinggal di daerah ‘pojok’ kota, rumah liar, pemukiman kumuh dan banyak persoalan sosial.
Keberadaan mereka mutlak adanya, bahkan membuat kota makin bersemangat tuk tumbuh. Tebak saja jika di sebuah kota hanya diisi orang kaum borjuis, serba berkecukupan, maka siapa yang akan menjadi pekerja? Tak ada yang bekerja, hingga masalah dimana-mana. Masyarakat pojok inilah yang memenuhi kebutuhan kota. Kebanyakan mereka berprofesi sebagai buruh kasar, nelayan, petani dan pekerjaan non formal lainnya.
Cumin masalahnya jika tak ada usaha tuk menaikkan kesejahtraan mereka. Masyarakat pojok dibiarkan hidup dalam permukiman kumuh, dan miskin turun-temurun. Anak nelayan, akan tetap jadi nelayan, anak petani pun mengikuti jejak orang tuanya, anak pemulung akan bergumul dengan sampah. Padahal miskin bukan penyakit keturunan. Kemiskinan adalah persoalan sikap, pemikiran yang dan etos kerja dan dukungan pemerintah. Sikap yang tidak mendukung, pemikiran yang terbelakang dari minimnya pendidikan bagi anak yang hidup di lingkungan masyarakat ini.
Minimnya akses pendidikan bagi mereka, menjadi salah satu faktor yang menghambat perbaikan hidup bagi masyarakat pinggiran ini. Dengan sulitnya pendidikan bagi anak pinggiran,  maka jangan heran jika muncul banyak anak jalanan atau pekerja anak di jalanan. Mereka bekerja sebagai pengemis, pengecer koran, tukang semir sepatu, pengamen, ataupun pemulung. Anak-anak tersebut berasal dari keluarga-keluarga miskin yang biasanya hidup di pojok kota, daerah kumuh, dan perumahan liar.
Kebanyakan anak-anak tersebut tidak sekolah. Ada beberapa yang sekolah namun dengan kondisi sekolah yang memprihatinkan, itupun jika tak terancam putus  sekolah. Alasannya bermacam-macam, mulai dari tidak adanya biaya, maupun daya tarik lingkungan jalanan terhadap anak-anak yang membuat mereka semakin lama semakin betah di jalanan. Niat membantu orangtua dan uang yang didapat dijalanan semakin meredam semangatnya untuk mengenyam pendidikan.
Namun di tengah kesusahan hidup masyarakat pojok Makassar, kota ini tetap saja menyimpan cerita kemegahan. Seakan melupakan penderitaan yang dialami. Di tiap malam pergantian tahun, Kota Makassar mampu menghamburkan duit lebih dari 10 milyar dalam semalam. Itupun hanya tuk petasan yang dibakar di beberapa jam saja. Ironis bagi kota yang belum mampu menciptakan pemerataan kesejahtraan bagi semua masyarakatnya.  



Komentar

Populer Post

An Nadzir dan Idul Fitri

Ternak Masuk Lahan Tetangga Kena Denda, Setuju?