Pendidikan, untuk Apa dan Siapa?


Ujian jadi cara klasik tuk mengetahui kepintaran peserta didik
Ada masalah pada sistem di negeri ini, entah apa itu? Pendidikan. Yah mungkin itu salah satunya. Setidaknya itu yang saya rasakan saat berada jauh di lepas pantai Makassar. Di Pulau Bonetambung, jaraknya sekira 18 km dari pusat kota. Satu pulau bulat dengan luas hanya  berkisar lima hektar.
Walau tak begitu luas, nampaknya tak jadi jaminan tuk lepas dari masalah. Pulau kecil yang dihuni tak lebih dari lima ratus jiwa penduduk itu menyimpan cerita pedih bobroknya pendidikan kita. Perjalananku tak lama di pulau itu, namun cukup tuk merasakan begitu resahnya para ayah akan masa depan anaknya kelak.   
Daeng Jarre, salah satu ayah maupun paman yang merasakan ketidakpedulian negara akan pendidikan anak Pulau Bonetambung. Badannya besar, namun tak berotot. Rambutnya pendek, nyaris botak dan kulitnya yang cokelat gelap karena pekerjaannya yang bersinggungan dibawah terik. Setidaknya itu yang saya ingat. Pria ini yang pertama menyambut kedatangan kami. Warga pulau memang sangat ramah bagi masyarakat luar, apalagi mahasiswa seperti kami.
Setelah memberi segelas air yang sedikit memuaskan dahaga karena perjalanan panjang. Daeng Jarre bercerita tentang semua masalah yang mereka hadapi. Masalah sekolah anak-anak mereka. Alasan kedatangan kami di pulau itu sebab telah mendengar kegetiran mereka. Kabar burung yang kami dengar hanya sebatas dugaan korupsi dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) oleh kepala sekolah.
Nampaknya bukan hanya ulah ‘si tikus besar’, ulah nakal beberapa guru yang mengajar  satu sampai dua hari per bulan pun jadi masalahnya. Semua dibeberkan. Bahkan siswa yang telah lulus SD tak kunjung memperoleh ijazah sejak lima tahun lalu. Bagaimana tak resah, anak mereka tak mungkin melanjutkan pendidikan tanpa ijazah. “Guru-guru PNS biasa mengajar dua kali atau tiga kali ji  per bulan, itu pun biasa kalau mau terima gaji,” keluh Daeng Jarre.
Nampaknya pendidikan jadi satu masalah mendasar yang tak pernah diselesaikan bangsa ini. Sebanyak 527.850 anak atau 1,7 persen dari 31,05 juta anak SD putus sekolah setiap tahunnya. Bahkan tahun lalu, Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa Bangsa UNESCO merilis indeks pembangunan pendidikan (education development index) dalam EFA Global Monitoring Report 2011. Hasilnya peringkat Indonesia turun pada posisi ke-69 dari 127 negara.
Tiap tahunnya kita merayakan hari pendidikan nasional. Namun apa hasilnya. Bisnis pendidikan. Hari yang seharusnya menyadarkan kita akan pentingnya pendidikan bagi anak negeri jadi tak bermakna. Tiap kali negara membikin aturan mengenai pendidikan selalu saja bermasalah. Komersialisasi pendidikan. Yah, konsep itu yang selalu santer dikalangan mahasiswa.
Pantas saja banyak universitas kemudian lahir untuk jadi mesin mencipta gelar. Nilai, gelar, dan ijazah semua bisa diperjualbelikan. Swasta dengan mudah menentukan tarif bagi peserta didiknya. Layaknya sebuah industri yang menjanjikan. Hal ini mengisyaratkan pendidikan hanya bagi anak si kaya, sedang bagi si miskin cukup bermimpi  tuk menyekolahkan anaknya.
Pemerintah berkewajiban memberi pendidikan bagi warganya, setidaknya itu yang diamanatkan UUD 1945. Namun terlalu banyak anak bangsa yang tak tersentuh pendidikan seperti anak-anak Pulau Bonetambung. Layanan pendidikan yang diberikan pemerintah pun tak seberapa.  Anggaran tuk pendidikan dalam APBN maupun APBD masih berkisaran 20%, itu di luar gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan.
Tak hanya permasalahan sulitnya akses pendidikan si miskin. Masalah kualitas pendidkan pun jadi poin penting yang harunya dikoreksi sejak dulu. Sistem pendidikan kita hanya membikin peserta didiknya jadi pintar namun tidak cerdas. Mereka yang pintar cenderung melakukan sesuatu dengan cara yang teratur dan rapi, sesuai aturan yang ada, seperti menghafal sesuai dengan apa yang harus dihafal. Sedangkan mereka yang cerdas akan melakukan sesuatu dengan bebas, dengan tambahan ide kreatif dan lebih banyak improvisasi. Paradigma yang dibawah dalam konsep pendidikan kita ini dapat membunuh kreativitas. Dan hanya akan melahirkan tenaga kerja yang sangat dibutuhkan industri-industri kapitalisme.
Tak perlu memandang jauh ke Indonesian. Di Unhas pun nampaknya menganut paradigma ini. Bayangkan, tiap mahasiswa dituntut dengan banyak aturan. Aturan pengaderan, aturan perkuliahan, akademik, semua itu berdampak pada pengekangan kreativitas mahasiswa. Terlalu banyak aturan justru akan menjadi penjara bagi kreativitas, padahal aturan ada agar hidup lebih teratur bukan terkurung.
Sistem pendidikan kita memang rumit. Setelah lolos dari diskriminasi pendidikan, para peserta didik kembali dihadang kesalahan paradigma pendidikan. Siapa yang membikin sistem pendidikan kita? Mungkinkan bangsa Indonesia dididik hanya untuk jadi kuli di negerinya sendiri?

Komentar

Populer Post

An Nadzir dan Idul Fitri

Masyarakat Pojok Makassar

Ternak Masuk Lahan Tetangga Kena Denda, Setuju?