Pendidikan, untuk Apa dan Siapa?
Ujian jadi cara klasik tuk mengetahui kepintaran peserta didik |
Walau
tak begitu luas, nampaknya tak jadi jaminan tuk lepas dari masalah. Pulau kecil
yang dihuni tak lebih dari lima ratus jiwa penduduk itu menyimpan cerita pedih
bobroknya pendidikan kita. Perjalananku tak lama di pulau itu, namun cukup tuk
merasakan begitu resahnya para ayah akan masa depan anaknya kelak.
Daeng
Jarre, salah satu ayah maupun paman yang merasakan ketidakpedulian negara akan
pendidikan anak Pulau Bonetambung. Badannya besar, namun tak berotot. Rambutnya
pendek, nyaris botak dan kulitnya yang cokelat gelap karena pekerjaannya yang
bersinggungan dibawah terik. Setidaknya itu yang saya ingat. Pria ini yang
pertama menyambut kedatangan kami. Warga pulau memang sangat ramah bagi masyarakat
luar, apalagi mahasiswa seperti kami.
Setelah
memberi segelas air yang sedikit memuaskan dahaga karena perjalanan panjang.
Daeng Jarre bercerita tentang semua masalah yang mereka hadapi. Masalah sekolah
anak-anak mereka. Alasan kedatangan kami di pulau itu sebab telah mendengar kegetiran
mereka. Kabar burung yang kami dengar hanya sebatas dugaan korupsi dana Bantuan
Operasional Sekolah (BOS) oleh kepala sekolah.
Nampaknya
bukan hanya ulah ‘si tikus besar’, ulah nakal beberapa guru yang mengajar satu sampai dua hari per bulan pun jadi
masalahnya. Semua dibeberkan. Bahkan siswa yang telah lulus SD tak kunjung
memperoleh ijazah sejak lima tahun lalu. Bagaimana tak resah, anak mereka tak
mungkin melanjutkan pendidikan tanpa ijazah. “Guru-guru PNS biasa mengajar dua
kali atau tiga kali ji per bulan, itu pun biasa kalau mau terima
gaji,” keluh Daeng Jarre.
Nampaknya
pendidikan jadi satu masalah mendasar yang tak pernah diselesaikan bangsa ini. Sebanyak
527.850 anak atau 1,7 persen dari 31,05 juta anak SD putus sekolah setiap
tahunnya. Bahkan tahun lalu, Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan
Kebudayaan Perserikatan Bangsa Bangsa UNESCO merilis indeks pembangunan
pendidikan (education development index) dalam EFA Global Monitoring Report 2011. Hasilnya
peringkat Indonesia turun pada posisi ke-69 dari 127 negara.
Tiap
tahunnya kita merayakan hari pendidikan nasional. Namun apa hasilnya. Bisnis
pendidikan. Hari yang seharusnya menyadarkan kita akan pentingnya pendidikan
bagi anak negeri jadi tak bermakna. Tiap kali negara membikin aturan mengenai
pendidikan selalu saja bermasalah. Komersialisasi pendidikan. Yah, konsep itu
yang selalu santer dikalangan mahasiswa.
Pantas
saja banyak universitas kemudian lahir untuk jadi mesin mencipta gelar. Nilai,
gelar, dan ijazah semua bisa diperjualbelikan. Swasta dengan mudah menentukan
tarif bagi peserta didiknya. Layaknya sebuah industri yang menjanjikan. Hal ini
mengisyaratkan pendidikan hanya bagi anak si kaya, sedang bagi si miskin cukup
bermimpi tuk menyekolahkan anaknya.
Pemerintah
berkewajiban memberi pendidikan bagi warganya, setidaknya itu yang diamanatkan
UUD 1945. Namun terlalu banyak anak bangsa yang tak tersentuh pendidikan
seperti anak-anak Pulau Bonetambung. Layanan pendidikan yang diberikan
pemerintah pun tak seberapa. Anggaran tuk
pendidikan dalam APBN maupun APBD masih berkisaran 20%, itu di luar gaji
pendidik dan biaya pendidikan kedinasan.
Tak
hanya permasalahan sulitnya akses pendidikan si miskin. Masalah kualitas
pendidkan pun jadi poin penting yang harunya dikoreksi sejak dulu. Sistem
pendidikan kita hanya membikin peserta didiknya jadi pintar namun tidak cerdas.
Mereka yang pintar cenderung melakukan sesuatu dengan cara yang teratur dan
rapi, sesuai aturan yang ada, seperti menghafal sesuai dengan apa yang harus
dihafal. Sedangkan mereka yang cerdas akan melakukan sesuatu dengan bebas, dengan
tambahan ide kreatif dan lebih banyak improvisasi. Paradigma yang dibawah dalam
konsep pendidikan kita ini dapat membunuh kreativitas. Dan hanya akan
melahirkan tenaga kerja yang sangat dibutuhkan industri-industri kapitalisme.
Tak
perlu memandang jauh ke Indonesian. Di Unhas pun nampaknya menganut paradigma ini.
Bayangkan, tiap mahasiswa dituntut dengan banyak aturan. Aturan pengaderan,
aturan perkuliahan, akademik, semua itu berdampak pada pengekangan kreativitas
mahasiswa. Terlalu
banyak aturan justru akan menjadi penjara bagi kreativitas, padahal aturan ada
agar hidup lebih teratur bukan terkurung.
Sistem
pendidikan kita memang rumit. Setelah lolos dari diskriminasi pendidikan, para
peserta didik kembali dihadang kesalahan paradigma pendidikan. Siapa yang membikin
sistem pendidikan kita? Mungkinkan bangsa Indonesia dididik hanya untuk jadi kuli
di negerinya sendiri?
Komentar