Tradisi

Int.


Di sebuah kesempatan yang singkat, saat pulang kampung halaman di Luwu Timur, aku menyempatkan berkunjung ke kantor Polisi Malili. Kunjunganku bukan tuk bertemu keluarga yang kerja di sana, hanya untuk mengurus permohonan Surat Izin Mengemudi (SIM). Sebab sudah lelah main kucing-kucingan dengan pak polisi di jalanan.
Tiba di kantor polisi, setelah menempuh jarak 45 km dari rumah keluargaku, langsung saja  menuju bagian SIM yang terletak di ujung belakang bangunan berwarna dasar kuning keputih-putihan. Dari kejauhan ku lihat tak begitu banyak yang antre. Sedikit melegakan dengan hanya melihat lima pasang mata, yang duduk sembil bercengkerama depan loket. Artinya tak akan lama menunggu antrean, pikirku.
Setelah memarkir kendaraan, tak jauh dari kumpulan orang antre, kakiku langsung menuju loket yang dijaga seorang laki-laki berseragam coklat dan sedikit kumis di atas bibirnya. Di atas kantong seragam sebelah kanan terlihat sebuah nama, mirip nama ibu kota Inggris. Namun ada tambahan huruf G di ujungnya, pasti itu nama laki-laki itu. “Apa benar di sini tempat untuk mengurus SIM?” tanyaku hanya sekadar basa-basi, sebab pastilah loket itu tempatnya. Sebab jelas terpajang tulisan yang menjelaskan fungsi loket.
Rupanya kedatanganku sedikit terlambat. Kulupa jika sekarang sudah jam 12 lewat. Pantas saja orang-orang depan loket hanya asyik berbincang, dan ada pula yang hanya diam melihat-lihat berkas yang dipegangnya. Tak sengaja kulihat beberapa berkas yang dibolak-balik pemiliknya. Ada foto kopi KTP dan berkas dari polisi yang sudah terisi. Menurutku berkas semacam itu biasa saat mengajukan permohonan apapun. Kutersadar, rupanya foto kopi KTP belum kusiapkan. Sebelum loket terbuka kembali, bergegas kucari tempat foto kopi terdekat.
Kembali lagi ke kantor polisi setelah memfotokopi, rupanya di depan loket sisa dua orang yang duduk tanpa  saling menyapa. Kulangsung menuju petugas yang jaga di loket. “Pak, saya mau urus SIM,” tanpa basa-basi lagi.
Petugas jaga kemudian menanyakan beberapa berkas yang harus kusiapkan. Rupanya masih ada satu yang kurang. “Sudah ada surat keterangan sehat dari dokter?” tanya laki-laki berbadan tinggi itu. Bodohnya, kenapa hal itu bisa kulupa.
Karena lupa kusiapkan, petugas itu kemudian merujukku ke dokter yang praktik sekira 200 meter dari kantor polisi. Kembali kulihat jam pada telpon pintarku. Rupanya sedikit lagi jam dua, padahal sebentar malam kuharus kembali ke Makassar, jadi tak ada waktu esok hari tuk mengurus hal ini. Dengan langkah cepat menuju motor, kemudian menarik gas menuju tempat praktik yang disarankan polisi tadi.
Ah, setiba di lokasi praktik dokter itu, rupanya sudah tutup. Kembali kuperhatikan saksama rumah itu, berharap kusalah tempat. Rupanya benar itu tempatnya, seorang laki-laki berbadan besar datang menghampiriku. “Benar ini tempat dokter yang biasa dimintai surat keterangan dokter untuk pengurusan SIM, namun biasanya buka sampai siang dan dokter yang bertugas sudah pulang dari setengah jam lalu,” suara yang akhirnya mengecewakanku.
Dengan berat hati, kutinggalkan tempat itu. Bergegas kembali menuju kantor polisi berharap mendapat cara lain mendapatkan Surat Keterangan Sehat dari dokter. Namun sebelum meninggalkan tempat praktik itu, kusempatkan bertanya tarif untuk mendapatkan surat keterangan dari dokter. Katanya “empat puluh ribu rupiah.”
Kutancap gas roda duaku menuju kantor polisi. Menyampaikan apa yang kudapati di tempat praktik dokter yang jadi langganan para pemohon SIM itu. Dengan tenang petugas jaga itu menyarankan ke puskesmas. Kalau bisa di puskesmas, lantas mengapa sebelumnya dia hanya merujuk ke dokter praktik yang tutup jam 12 siang?
Hari berlalu makin cepat, hingga tak ada waktu mengungkapkan kejengkelan. Tanpa memerhatikan petugas tadi, kulangsung meluncur menuju puskesmas. Disana akhirnya kudapat selembar keterangan dokter dengan biaya administrasi sepuluh ribu rupiah. Jumlah yang jauh beda ketimbang dokter yang ditunjukkan polisi tadi. Entah apa yang membikinnya lebih mahal? Dan mengapa polisi mengarahkan ke tempat itu? Tak ada jawaban pasti.
Selembar surat keterangan itu kemudian kubawa ke petugas jaga loket. Tanpa banyak berbicara, petugas itu langsung memberi tiga lembar berkas yang dimasukkan dalam map berwarna kelabu untuk aku isi. Setelah mengisi semua berkas yang diminta, petugas itu langsung pergi dengan membawa map yang berisi berkas tadi, tanpa berkata apapun.
Waktu makin bertambah larut, berkas milikku entah kemana? Dan kapan tes untukku? Padahal waktuku hanya sampai hari ini. Tak ada arahan mengenai apa yang harus kulakukan setelah mengisi berkas. Hal itu membikin pikirku makin liar hingga pada ingatan dua tahun lalu di saat masyarakat di kampungku masih banyak tak memiliki SIM. Dan saat itupun ku baru membikin SIM buat kendaraan roda dua. Karena hilang, akhirnya sekarang harus memohon kembali.
Kurang dari  dua jam, sepiker yang sengaja diletakkan di ruang tunggu menyebut namaku. Tanpa aba-aba kulangsung masuk dalam ruang tiga kali tiga meter, dengan pintu terbuat dari kaca tebal warna hitam. Di dalam dua laki-laki langsung menyambutku dengan tatapan yang bersahabat. Kemudian mempersilakan melakukan sidik jari yang diarahkan seorang petugas. Setelah itu petugas berseragam coklat itu menyuruhku duduk di kursi yang telah disiapkan. “Tanda tangan di sana!” kata petugas itu sambil menunjuk layar elektronik selebar buku saku itu. Setelah bertandatangan, kemudian fotoku diambil dengan kamera yang telah disiapkan.
“SIM C 200 ribu. SIM A 320 ribu. Jadi semua 520 ribu. Kalau sudah selesai, nanti dipanggil lagi,” kata petugas itu.
Waooo. Tanpa tes, SIM ku langsung jadi. Lantas apa guna jenderal polisi mengadakan alat simulator SIM, jika di lapangan hal itu tak diperlukan. Namun sebenarnya hal itu tak begitu mengejutkan. Pertama kali mengurus permohonan SIM pun seperti itu, namun bedanya waktu itu sang petugas akan bertanya paket yang diinginkan pemohon. Paket tes, yang pastinya akan lama dan belum tentu lulus. Atau paket cepat, tanpa tes dan hanya butuh tambahan biaya.
Namun kali ini, tak pernah ada pertanyaan seperti itu. Semua berlangsung cepat dengan sedikit basa-basi. Mungkin semua telah jadi tradisi. Tambahan biaya tuk mempercepat waktu pengurusan dan tanpa tes telah jadi legal di sana. Atau bahkan hal itu sudah biasa di mana-mana. Suap jadi pilihan tanpa harus diucap. 

Makassar, 1 November 2013

Komentar

Populer Post

An Nadzir dan Idul Fitri

Masyarakat Pojok Makassar

Ternak Masuk Lahan Tetangga Kena Denda, Setuju?